Ayo Ngaji!


KANG, AYO NGAJI!
Oleh: Bachry Mohammed
Selamat malam teman...
Kali ini saya mau sedikit bercerita tentang keadaan salah satu teman karibku, anggap saja dia Ian. Dia adalah salah satu santri di suatu pondok pesantren di daerah Yogyakarta, dan saat ini pula ia telah genap nyantri di sana selama 7 tahun. Wow, lama juga ya? Ya, memang cukup lama, kalau orang jawa bilang sudah ngoyot, saking lamanya mondok. Tapi ternyata ia memiliki sedikit permasalahan mengenai ngaji. Namanya juga mondok, intinya adalah ngaji.
Dua hari yang lalu, tepatnya Kamis malam (hari libur nasional para santri) ia mulai membicarakan tentang ngaji. Pertama-tama membahas mengenai statusnya sebagai santri lawas, ia sudah tua di pondok tapi merasa kurang wadah untuk mengaji. Katanya, ia sungkan mengaji dengan keadaannya yang seperti ini, sudah tua di pondok tapi tidak beda kualitas keilmuannya dengan adek-adek yang baru beberapa bulan nyantri di sana.
Rasa sungkan semakin bertambah lagi ketika melihat keadaan yaitu rata-rata santri seumurannya, bahkan adik tingkatnya mayoritas menjadi ustadz, membantu Pak Kyai mengajarkan ilmu agama kepada para santri. Jangankan mengajar, untuk dirinya sendiri saja ia masih terkatung-katung kesana kemari mencari senior yang mau mengajarinya mengaji.
Pada akhirnya ia berfikir bahwa mengaji itu tidak semata-mata datang di majelis dan berhadapan membaca Alqur’an di hadapan Pak Kyai, tapi melalui pengabdian juga bisa dikatakan mengaji, sehingga ia menjadi abdi dalem. Lewat itulah ia mengaji, dan ini berlangsung cukup lama.
Menurut penulis sendiri apa yang ia katakana itu adalah benar, bahkan mengaji dengan menjadi abdi dalem dan melayani Pak Kyai itu lebih berat dibandingkan dengan berhadapan dengan Pak Kyai di Mushalla pondok. Mengapa? Karena menjadi abdi dalem merupakan pekerjaan berat yang pada intinya setiap hariia harus mengaji tentang urusan hati, dan ini bukan melalui materi melainkan praktek langsung di lapangan.
Jika di mushalla hanya duduk manis di majelis dan mendengarkan materi dari guru, dan urusan praktek tidak tahu kapan ilmu itu akan diamalkan. Tetapi di sini lain, kita dituntut untuk praktek sebanyak-banyaknya dengan materi yang seminim-minimnya, sehingga ini membutuhkan kepekaan yang ekstra, terutama berkaitan dengan hati. Itulah mengapa penulis katakana abdi dalem lebih berat daripada menjadi santri biasa. Dan penulis juga merasa mereka yang menjadi abdi dalem memiliki kesempatan melatih hati mereka lebih intens.
Perbedaan inilah yang membuat penulis merasa lebih memaklumi para abdi dalem untuk kurang aktifmengikuti kegiatan pondok karena mereka harus memprioritaskan urusan Kyai daripada urusan pribadi mereka sendiri. Namun alangkah baiknya tetao ikutilah kegiatan mengaji itu bagaimanapun juga. Karena kamu adalah santri senior yang pada dasarnya juga harus membantu mengajarkan ilmu agama kepada adik-adik tingkatnya.
Setidaknya, jika kamu berangkat ke majelis mengaji, itu sudah mengajarkan umtuk disiplin mengikuti kegiatan di pondok. Tidak harus mengampu adik-adik tingkat, tetapi cukup ajari mereka dengan perangai yang kita dapatkan dari Pak Kyai. Dan tauladan yang seperti itu sangat berarti bagi seluruh santri, bahkan untuk seluruh kalangan dunia. Wallahu A’lam.

Komentar